bahwa wisata ke puncak bogor adalah menyenangkan, pasti benar!!! sepanjang jalan dapat melihat pemandangan yang hijau-hijau dengan jalan yang berkelak-kelok. sejak kecil dibawa wisata ke puncak, hingga sekarang sudah membawa anak ke puncak, tetap saja tidak ada bosannya.
tapi tahukah anda bahwa wisata ke puncak tidak melulu pakai kendaraan bermotor. jika jeli, sepanjang jalan ke atas, terutama hingga rindu alam atau yang biasa disebut RA, akan banyak ditemui pengendara sepeda yang berwisata menandjak.
tidak terbayang dalam benak saya untuk melakukan penandjakan di puncak menggunakan sepeda. kalau berjalan kaki pernah terpikir, karena jalan yang dilalui sangat indah untuk dinikmati. tapi bagaimana jika sambil gowess sepeda??
setahun belakangan ini saya dapat pencerahan. kembali bersepeda setelah sebelumnya malu karena merasa sudah tua. ternyata pengendara sepeda seusia saya juga banyak. dengan sepeda saya b2w.
kurang lebih enam bulan setelah beraktifitas dengan sepeda, dapat tawaran untuk ngumpul bareng satu komunitas. karena kurang faham lokasi, saya ikut saja. baru ketahuan bahwa lokasi yang dituju berada di ketinggian yang mengharuskan menandjak. sejak saat itu saya jadi sering ikut jalan-jalan melalui kontur jalan yang menandjak.
hal menarik saat menandjak jika dikaitkan dengan kejujuran adalah : tolong jangan jujur!!.
bayangkan bersepeda melewati tandjakan sudah pasti melelahkan. apalagi jika sudah tahu bahwa jalan yang ditandjaki masih jauh. pasti berpengaruh pada psikologi, ujung-ujungnya nyali jadi ciut. anehnya lagi, walau sudah tahu bahwa jalan menandjak masih jauh, tapi masih saja bertanya pada teman sesama gowess, yang lagi ngos-ngossan.
saat bertanya pada teman, “masih jauh?”, usahakan jawab “sedikit lagi”. walaupun masih jauh, karena pada dasarnya sudah sama-sama tahu jarak dan lokasi.
saat melihat teman yang sudah mulai menurun gowesannya, ucapkanlah “tandjakannya abis, di depan sudah datar”. walau tandjakan masih berlangsung hingga kaki langit.
bagi saya, jujur adalah wajib. dengan disesuaikan pada situasi dan kondisi kapan harus jujur.
pertanyaannya sekarang adalah : kapan harus jujur??
seharusnya jawabannya adalah : setiap saat.
apapun, kapanpun, bagaimanapun, siapapun, dimanapun sudah seharusnya kita mengucapkan dan melakukan kejujuran.
saya dengan keterbatasan sebagai manusia lemah tak berdaya, menyuarakan dukungan terhadap Ny. Siami yang berusaha jujur dalam menyikapi keinginan pihak sekolah dan para wali murid yang ingin menyontek pada anaknya.
mari nandjak dengan jujur (bisa ga’?)
.
.
.
yuks dukung kejujuran :
http://www.bincangedukasi.com/indonesiajujur-suarakan-dukunganmu-akan-kejujuran.html
> Ny. Siami, Si Jujur yang Malah Ajur > http://bit.ly/l3Is4t
> Orang Tua AL Minta Maaf, Diteriaki Wali Murid “Tak Punya Hati Nurani” > http://bit.ly/iJvGCj
> Diusir, Ny. Siami Akhirnya Kosongkan Rumah > http://bit.ly/jvQX2O
wah filosofi yang unik, jujur pada tempatnya ya, emang sih meskipun tau itu cuma buat nyemangatin doang, rasanya semangat juga muncul lagi deh 😀
Kalau dekat UAS gini saya juga harus jujur: kalkulus itu susssaaah!
Dengan begitu saya harus usaha ekstra
keep gowes, sir!
Jujur itu semoga mujur..
kalo bilang gini gimana kang?
A: ‘masih jauh?!’
B: ‘kayanya kelewat deh’
sepeda sambil nanjak, walau sekitar indah untuk di pandang, tetap ngos-ngosan,
jujur, harus itu 🙂
Wehehe iya bener juga ya. Dalam beberapa hal memang sebaiknya tidak jujur. :p
memang ada saat-saat untuk sebaiknya tidak jujur.asal ndak keterusan, toh
hahahaha bener boong dikit g papa daripada tepar di tengah jalan, seenggaknya kita masih optimis walau tanjakan masih jauh 😀
walah, kalau dalam soal tanjak-menanjak, jujur itu jadi relatif, mas pengendara. kawasan puncak termasuk jalur yang lalu lintasnya bikin stress, hiks. tapi kalau bisa bersepeda ria, pasti makin terasa asyiknya.
jujur biar mujur ya kang
saya suka tuh pemandangan sepanjang arah puntjak
saya miris dengan kasus AL .. dan saya menyatakan dukungan u/ keluarga AL yg mendukung kejujuran!
Kalau naik sepeda di tanjakan butuh semangat ekstra ya, juga mental harus siap. Jadi ketika teman menjawab jujur bahwa tanjakan masih jauh, kita masih semangat untuk nanjak 🙂
Hahaha… sama kayak pasien yang akan disuntik, biasanya nanya : “Sakit nggak, Sus?”
Suster menjawab : “Sakit dikit. Cuma seperti digigit semut” (suster berusaha jujur, padahal seperti digigit semut se-RT)
hidup kejujuran, heheheheh
makaci bosss
abis ngebaca dari awal sampei akhir ternyata ini tulisan untuk menanggapi kasus si ny. siami itu toh
hmm miris juga ya sama peristiwa semacam itu
orang jujur ko di usir
teringat seorang teman di twitter yg selalu mengusung hastag #IndonesiaJujur tapi tentang dirinya sendiri aja tidak jujur … xixixixi
semangat tegakkan kejujuran!! ^^/
jujur harus jadi budaya, setidaknya belajar jujur pada diri sendiri….
Jujur selalu mujur. Apalagi pada saat ujian.
Kalau masalah jarak, relatif mas …!
kalo gowes di jalan nanjak sih, kalo ga menguatkan mental alias jujur jalan masih jauh, pasti udah nyerah duluan 😀
kalo gowes di jalan nanjak sih, kalo ga menguatkan mental alias jujur jalan masih jauh, pasti udah nyerah duluan 😀
Nah, kalo kebalikannya kang? Padahal di depan udah datar, tapi biar tetep semangat kita bilangnya masih jaoh.. #eaaa
wkwkwkkwk
saya jujur kok
dah cantik blognya ya bang…
saku juga ingin jujur…. bahwa blog ini makin keren 🙂